#40HKS Bagian 19 – Larangan Menyiksa dalam Islam

#40HKS Bagian 19 – Larangan Menyiksa dalam Islam

Seri #40HaditsKeadilanSosial

Bagian 19

DEFINISI, KATEGORISASI DAN LARANGAN PENYIKSAAN DALAM ISLAM

 

Diriwayatkan dari Hisyām bin Ḥakīm bin Ḥizām h bahwa ia pernah melewati beberapa orang petani non-Arab di Syam yang disuruh berdiri di bawah terik matahari, lalu disiramkan minyak zaitun ke kepala mereka. Ia bertanya, ‘Apa yang terjadi?’. Dia diberi tahu bahwa mereka telah ditahan karena tidak membayar jizyah. (Riwayat lain mengatakan bahwa mereka ditahan karena tidak membayar Al-Kharāj). Kemudian Hisyam berkata: ‘Aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa orang lain di dunia”.‘ Kemudian ia pergi menemui Amīr mereka dan menyampaikan hadits ini kepadanya. Amīr kemudian mengeluarkan perintah untuk membebaskan mereka.

 

KITA AKAN MEMBAHAS sebuah topik yang sangat kompleks dalam bab ini, yaitu topik penyiksaan. Ada beberapa sub topik dalam topik ini, namun semuanya berada di bawah payung keadilan sosial. Kata penyiksaan dalam bahasa Arab adalah ta’dzīb, namun kata ini juga bisa berarti hukuman, tergantung pada konteks penggunaannya.

Hadits yang akan kita lihat pertama kali memberikan indikasi yang jelas tentang beratnya masalah ini dan kita melihat bagaimana hal ini diterapkan oleh Hisyām bin Ḥakīm:

Diriwayatkan bahwa Hisyām bin Ḥakīm bin Ḥizām pernah melewati beberapa petani di Suriah yang disuruh berdiri di bawah terik matahari, lalu minyak zaitun disiramkan ke kepala mereka. Ia bertanya, Apa yang terjadi? Dia diberitahu bahwa mereka telah ditahan karena tidak membayar pajak. Hisyam kemudian berkata, Aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa orang lain di dunia”. Kemudian ia pergi menuju pemimpin mereka dan menyampaikan hadits ini kepadanya. Pemimpin itu kemudian mengeluarkan perintah untuk membebaskan mereka. (HR. Muslim).

Hadits ini tidak mengacu pada apakah orang yang disiksa itu Muslim atau non-Muslim, tetapi ini adalah larangan untuk menyiksa atau menganiaya secara umum. Juga tidak peduli apakah seseorang berada dalam posisi berkuasa atau tidak; fakta bahwa mereka menyiksa orang lain akan mengakibatkan Allah melakukan hal yang sama kepada mereka.

Hadits kuat lainnya dari Nabi ﷺ adalah, “Janganlah kalian menghukum (menyiksa) dengan hukuman Allah”. (HR. Bukhari). Hadits ini secara khusus mengacu pada hukuman api, karena itu adalah hukuman yang akan digunakan oleh Allah untuk mereka yang tidak taat dan kafir. Hadits ini juga membawa kita kembali kepada Hadits Qudsī yang telah saya sebutkan di bab pertama: Dari Abū Dzarr, dari Nabi Muhammad ﷺ, beliau bersabda, Allah Ta’ala berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku, Aku telah mengharamkan kezaliman untuk diri-Ku dan Aku telah mengharamkan kezaliman di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi”. [Muslim].

Allah telah mengharamkan kezaliman bagi diri-Nya sendiri dan bagi kita, jadi bagaimana mungkin kita menyiksa orang lain? Kita tidak memiliki hak untuk menindas atau menyiksa orang lain, hal itu berarti menempatkan diri kita pada posisi Allah yang merupakan dosa besar. Nabi ﷺ bisa saja mengatakan jangan menghukum dengan api, tetapi beliau menggunakan kata-kata jangan menghukum dengan hukuman Allah, karena hanya Allah yang berhak menghukum orang dengan api, dan Dia hanya akan menghukum orang-orang yang pantas menerimanya karena Dia Maha Adil.

Namun, sepanjang sejarah manusia telah menghukum orang secara tidak adil dengan membakar mereka di tiang pancang atau melemparkan mereka ke dalam api. Ashabul-Ukdhūd, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an, dilemparkan ke dalam parit api karena beriman kepada keesaan Allah. Demikian pula, sedihnya, hari ini kita dapat melihat saudara kita Muslim Rohingya dihukum karena keyakinan mereka. Lebih jauh lagi, Nabi Ibrāhīm n dilemparkan ke dalam api, tetapi Allah menyelamatkannya. Ibnul Qayyim mengomentari hal ini dan membuat pernyataan yang sangat mendalam dengan mengatakan, “Api itu adalah hukuman yang ditimpakan kepada Nabi Ibrahim, bukan oleh para pengikut Nabi Ibrahim. Tak seorang pun yang mengaku percaya kepada pesan yang dibawa oleh Ibrāhīm dapat menyiksa orang lain dengan cara yang sama seperti yang mereka lakukan terhadap Ibrāhīm.

Ada banyak hadits umum yang mengajarkan kita bahwa cara kita memperlakukan orang lain, akan menjadi cara Allah memperlakukan kita. Salah satu contoh hadits adalah ketika Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah hanya menyayangi hamba-hamba-Nya yang menyayangi orang lain”. (HR. Bukhari). Kita diberi dorongan positif dan negatif melalui Hadis ini; jika kita memperlakukan orang lain dengan kasih sayang, kita akan diperlakukan dengan kasih sayang oleh Allah, tetapi jika kita tidak memperlakukan orang lain dengan kasih sayang, kita juga tidak akan diperlakukan dengan kasih sayang oleh Allah.

Topik penyiksaan dalam Islam tidak terbatas pada manusia, tetapi lebih luas lagi dan hal yang menarik untuk dicatat adalah bahwa sebagian besar hadits yang berkaitan dengan penyiksaan mengacu pada hewan. Hadits yang sangat menonjol tentang penyiksaan hewan adalah tentang wanita dan kucing. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar yang berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang wanita disiksa dan dimasukkan ke dalam neraka karena seekor kucing yang dikurungnya hingga mati kelaparan”. (HR. Bukhari). Wanita itu mengurung kucing tersebut, sehingga kucing tersebut tidak bisa mengurus dirinya sendiri, sementara ia juga tidak memberikan makanan dan minuman kepada kucing tersebut. Wanita tersebut telah berlaku tidak adil, dan menyiksa kucing tersebut mengakibatkan ia masuk ke dalam neraka.

Ada banyak hadits yang berkaitan dengan penyiksaan terhadap hewan. Nabi ﷺ berbicara tentang mereka yang memberi tanda pada hewan-hewan mereka, sehingga menyebabkan mereka kesakitan karena telah menyiksa mereka. Nabi ﷺ juga berbicara tentang membebani unta dan hewan lain seperti keledai dengan beban yang berlebihan karena mereka akan bersaksi kepada Allah di Hari Kiamat bahwa mereka dibebani secara berlebihan.

Fakta bahwa ada banyak hadits semacam itu memperjelas bahwa jika menyiksa hewan dilarang, tidak diragukan lagi bahwa menyiksa manusia juga dilarang.

Nabi Muhammad ﷺ juga melarang menyiksa tawanan; tidak peduli seberapa jahatnya tawanan tersebut, umat Islam tidak boleh menyiksa tawanan. Bahkan, para tawanan perang diperlakukan dengan cara yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, seperti diminta untuk mengajari mereka yang tidak bisa membaca atau menulis. Kita dapat melihat banyak contoh penyiksaan tahanan di dunia yang kita tinggali saat ini, di penjara-penjara seperti Teluk Guantanamo. Ada juga diskusi tentang teknik penyiksaan seperti waterboarding yang terjadi di banyak penjara di seluruh dunia. Penyiksaan terhadap tahanan bukanlah sesuatu yang telah dihapuskan selama berabad-abad, sayangnya hal ini masih ada hingga saat ini dengan negara-negara yang mengaku demokratis dan taat hukum terlibat dalam praktik-praktik ini.

Sebuah hadits yang secara khusus merujuk pada Tsumāmah yang merupakan pemimpin Banū Ḥanīfah, dia adalah salah satu musuh terbesar Nabi Muhammad ﷺ, dan dia sering mengincar dan menyakiti umat Islam. Abū Hurairah meriwayatkan: “Rasulullah mengirim beberapa penunggang kuda ke Najd dan mereka membawa seorang pria dari Banū Ḥanīfah bernama Ṭumāmah bin Uṡāl yang merupakan pemimpin penduduk al-Yamāmah dan mengikatnya di salah satu tiang masjid. Rasulullah keluar menemuinya dan berkata, “Apa yang engkau harapkan wahai Thumāmah?” Ia menjawab, ‘Aku mengharapkan kebaikan wahai Muhammad. Jika engkau membunuhku, engkau akan membunuh seseorang yang darahnya akan dibalas. Jika engkau menunjukkan belas kasihan, engkau akan menunjukkannya kepada orang yang tahu berterima kasih dan jika engkau menginginkan dan meminta harta benda, engkau akan diberi sebanyak yang engkau inginkan’. Rasulullah membiarkannya hingga keesokan harinya dan bertanya kepadanya, “Apa yang engkau harapkan wahai Ṭumāmah?” Dia mengulangi kata-kata yang sama sebagai jawaban. Rasulullah membiarkannya hingga keesokan harinya, dan ia mengulangi kata-kata yang sama. Rasulullah kemudian bersabda, “Bebaskanlah Ṭumāmah”. Ṭumāmah kemudian pergi ke pohon kurma di dekat masjid dan mandi di sana. Ia masuk ke dalam masjid dan berkata, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” (HR. Ahmad).

Para ulama mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ menolak untuk memperlakukan Thumāmah seperti yang dilakukannya dan kabilahnya terhadap kaum Muslim, yaitu dengan cara penyiksaan. Nabi Muhammad ﷺ tidak mengizinkan praktik-praktik Banū Ḥanīfah menjadi bagian dari praktik dalam hidupnya (Sunnah). Setelah menyaksikan indahnya akhlak kaum Muslimin dan Nabi Muhammad ﷺ, hatinya condong kepada Islam. Setelah ia menerima Islam, ia bertanya kepada Nabi ﷺ bagaimana cara melaksanakan umrah karena ia ingin melakukan ibadah haji. Dia adalah seorang yang berpengaruh dan dihormati di Makkah, dan dia adalah orang pertama yang dapat melakukan umrah sementara umat Islam lainnya diboikot dan dilarang melakukan ziarah. Setelah melaksanakan umrah, ia memboikot Makkah secara ekonomi karena cara mereka memperlakukan Nabi ﷺ dan kaum Muslimin.

Allah juga berbicara tentang orang-orang yang memberikan makanan, meskipun mereka mencintainya dalam Surah al-Insān [76] ayat 8: “Dan mereka memberikan makanan, meskipun mereka mencintainya, kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”. Ayat ini berbicara tentang bagaimana kita harus membelanjakan uang untuk para tahanan dan menyediakan makanan untuk mereka karena pada zaman jahiliyah, para tahanan akan dibiarkan keluar selama satu atau dua jam pada siang hari untuk meminta makanan karena mereka tidak akan memberi makan para tahanan itu sendiri. Islam mengajarkan kita untuk setidaknya memberikan martabat kepada para tahanan, mereka tidak boleh dipaksa untuk meminta-minta makanan atau hak-hak sederhana lainnya.

Ibnu Abbas h yang merupakan sepupu Nabi Muhammad ﷺ berkata, “Pada masa itu, para tawanan mereka adalah orang-orang musyrik (penyembah berhala), pada Perang Badar, Rasulullah ﷺ memerintahkan mereka untuk bersikap baik kepada para tawanan mereka, sehingga para tentara Muslim biasa mendahulukan para tawanan daripada diri mereka sendiri dalam hal makanan. Kaum Muslim akan memberi makan para tawanan sebelum mereka memberi makan diri mereka sendiri dan keluarga mereka. Seorang penafsir Al-Qur’an bernama Mujahid berkata, “Mereka akan memberikan makanan kepada para tawanan meskipun mereka sendiri menginginkannya dan menyukainya.”

Apa yang kita pelajari dari hal ini adalah bahwa larangan penyiksaan melampaui aspek fisik, termasuk larangan untuk merampas waktu tidur, atau makanan dan minuman, atau pakaian, atau harga diri mereka. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa Nabi Muhammad ﷺ mondar-mandir dan meneteskan air mata setelah Perang Badar. Ketika para Sahabat bertanya mengapa beliau mondar-mandir dan kesal, beliau menjawab, saya bisa mendengar al-‘Abbās (pamannya) merintih karena rantai, yang berarti rantai itu membuatnya tidak nyaman. Salah seorang Sahabat kemudian pergi untuk melonggarkan rantai untuk al-‘Abbās. Nabi ﷺ mengatakan kepada para sahabatnya bahwa beliau senang dengan hal itu, tetapi mereka harus melakukan hal yang sama untuk semua tahanan lainnya agar setara. Mereka memastikan bahwa mereka tidak menahan para tahanan atau tawanan mereka dalam kondisi yang dapat dianggap menyiksa; tujuan mereka adalah untuk tidak membuat mereka menderita.

Kita juga menemukan bahwa Nabi ﷺ berbicara tentang pemaksaan dan bersabda, “Allah telah memaafkan manusia atas apa yang mereka lakukan karena tidak sengaja, lupa, atau karena dipaksa.” [Ibnu Majah]. Kaitannya dengan penyiksaan adalah bahwa Anda tidak harus mempertahankan sesuatu yang akan menyebabkan diri Anda disiksa. Contoh yang paling terkenal adalah ‘Ammār bin Yāsir, ketika ia dan orang tuanya disiksa oleh Abū Jahal dan dipaksa untuk mengutuk Nabi ﷺ. Orang tuanya tidak mengutuk Nabi ﷺ dan mati syahid karenanya, tetapi ‘Ammār mengutuk Nabi ﷺ dan merasa sangat bersalah karena hal ini, ia memberi tahu Nabi ﷺ bahwa ia hanya berbicara dengan lidahnya, bukan hatinya. Rasulullah ﷺ kemudian mengatakan kepadanya bahwa jika mereka menyiksanya lagi, ia dapat mengutuk lagi; ‘Ammār diberitahu untuk tidak menempatkan dirinya dalam situasi di mana ia akan disiksa. Kaum Muslim generasi awal secara khusus diberikan pengecualian ini karena penganiayaan keras yang mereka hadapi secara terus-menerus; mereka diizinkan untuk mengatakan hal-hal yang tidak mereka maksudkan untuk menghindari penyiksaan di tangan non-Muslim.

Bentuk penyiksaan lainnya adalah penyiksaan ketika investigasi (penyelidikan), yang disebutkan dalam sebuah riwayat sahih pada masa Nu’mān bin Basyīr – salah satu Sahabat Nabi ﷺ yang paling muda. Dari Azhar bin Abdullah al-Hararī berkata: “Beberapa barang milik penduduk Kila telah dicuri. Mereka menuduh beberapa penenun sebagai pencuri dan pergi kepada Nu’mān bin Basyīr, sahabat Nabi ﷺ. Dia mengurung mereka selama beberapa hari dan kemudian membebaskan mereka. Para penuduh itu datang kepada Nu’mān dan berkata, “Engkau telah membebaskan mereka tanpa pemukulan dan penyelidikan. Nu’mān berkata, ‘Apa yang kalian inginkan? Kalian ingin aku memukul mereka. Jika barang-barangmu ditemukan bersama mereka, maka tidak apa-apa. Jika tidak, aku akan mengambil dari punggung kalian sebagaimana aku telah mengambil dari punggung mereka (sebagai pembalasan). Mereka bertanya, ‘Apakah ini keputusanmu? Dia menjawab, ‘Ini adalah keputusan Allah dan Rasul-Nya ﷺ.’

Nu’mān menahan kelompok orang yang dituduh selama beberapa hari dan bertanya kepada mereka apakah mereka mencuri dan melakukan pemeriksaan sederhana terhadap barang-barang mereka; tanpa ada kekerasan atau penyiksaan. Dan ketika ia melepaskan mereka setelah tidak menemukan apa-apa, para penuduh ingin ia melakukan lebih, mereka menginginkan penyelidikan yang menyeluruh dan kejam yang melibatkan pemukulan, yang mana ia mengatakan bahwa jika para penenun masih terbukti tidak bersalah setelah dipukul, maka para penuduh harus mendapatkan pukulan yang sama.

Ini adalah riwayat yang kuat karena benar-benar menyoroti larangan penyiksaan selama penyelidikan dalam Islam. Para ulama terdahulu benar-benar melarang segala bentuk penyiksaan investigasi, terlepas dari siapa orangnya. Namun, para ulama kemudian pada abad kesebelas dan kedua belas mendiskusikan masalah ini dan mulai mengizinkan beberapa pengecualian dalam hal menunjukkan kekuatan fisik dalam proses investigasi, tetapi hanya pada mereka yang memiliki sejarah aktivitas kriminal yang diketahui. Para ulama kemudian melakukan hal ini sebagai tanggapan atas Prosedur Pidana Eropa yang mirip dengan setengah bukti; hal ini menjadi norma dunia dan para ulama memahami bahwa mereka harus berurusan dengan keadaan dan definisi penyiksaan yang terus berubah. Islam telah menetapkan batas-batas, tetapi masih ada ruang untuk diskusi di wilayah abu-abu, tetapi mereka bekerja dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya ﷺ.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan penyiksaan sebagai tindakan apa pun yang menyebabkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik fisik maupun mental, yang secara sengaja ditimpakan kepada seseorang untuk tujuan-tujuan seperti memperoleh informasi atau pengakuan dari orang tersebut atau orang ketiga, menghukumnya karena tindakan yang telah dilakukannya atau orang ketiga yang dicurigai telah dilakukannya, atau mengintimidasi atau memaksa orang tersebut atau orang ketiga, atau karena alasan apa pun yang didasarkan pada diskriminasi dalam bentuk apa pun.

Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membatasi hal ini pada manusia, definisi penyiksaan dalam Islam lebih luas daripada manusia dan mencakup hewan. Menyiksa hewan termasuk dalam larangan yang sama; mereka juga diciptakan oleh Allah dan kita tidak memiliki hak untuk menindas atau menyiksa mereka. Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan kepada kita bahwa proses pengadilan pertama di Hari Kiamat adalah di antara sesama hewan dan bahwa Allah akan menegakkan keadilan di antara mereka. Jadi, bagaimana dengan manusia yang memiliki kekuatan lebih dari orang lain kemudian menyiksa atau menindas mereka, atau menyiksa hewan?

Semoga Allah melindungi kita dari perbuatan menindas dan menganiaya orang lain dan hewan dalam bentuk apapun. Āmīn.

 

__________________

Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman

Copyright © 2025 Abu Azzam Al-Banjary